Memperjuangkan UU pemberantasan “trafficking” dari pengalaman perempuan
RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang saat ini berada pada urutan ke-9 Prolegnas di DPR. RUU ini merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, mantan presiden Megawati Sukarnoputri mengeluarkan Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A). Mantan presiden Megawati Sukarnoputri juga telah menerbitkan Amanat Presiden untuk mengajukan RUU ini ke DPR. Pada tanggal 7 Maret 2005, Komisi VIII DPR telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Aisyah, Muslimat NU, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan Solidaritas Perempuan, untuk memperoleh masukan dalam rangka Pembahasan Penyusunan RUU tentang Trafficking.
Tentu saja ada banyak hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut, terutama mengingat bahwa setidaknya sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah organisasi perempuan dan anak telah bekerja memerangi trafficking, termasuk mendorong lahirnya UU Anti Trafficking di Indonesia. Namun setidaknya terdapat beberapa point kritis berkenaan dengan RUU yang ada saat ini, antara lain: (1) belum adanya kejelasan mengenai posisi saksi korban, korban bukan saksi, dan saksi bukan korban untuk mendapatkan hak perlindungan korban dan saksi; (2) belum diaturnya kekebalan korban dari penuntutan untuk perbuatan yang dilakukan selama proses perdagangan orang. Misalnya, bagaimana jika korban melakukan tindak kekerasan atau pengrusakan, sebagai bentuk perlawanannya dari tindak kejahatan trafficking; (3) belum diaturnya larangan atas pemerilcsaan riwayat pribadi korban sebelum peristiwa-peristiwa yang berujung pada perdagangan seharusnya dimasukkan; (4) belum ditegaskannya perlindungan bagi korban secara komprehensif, termasuk tempat tinggal, layanan konseling, informasi tentang hukum, bantuan material, kesempatan kerja, pendidikan dan pelatihan, hingga kerahasiaan identitas; (5) belum diaturnya mengenai kemungkinan korban memperoleh status penduduk sementara di Indonesia, sehingga tidak menghalangi korban dalam memperoleh kompensasi melalui pengadilan; (7) belum diaturnya jaminan bahwa korban yang diperdagangkan ke Indonesia hanya dapat dipulangkan secara sukarela, termasuk mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan atau dokumen akibat trafficking; (8) belum adanya ketentuan khusus untuk korban anak; (9) belum jelasnya pemidanaan terhadap sindikat trafficking yang berkedok badan hukum tertentu.
Sejumlah hal di atas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas persoalan trafficking dan karenanya semakin mendesak untuk diatur dalam suatu UU. Di lapangan, pengalaman bekerja dalam isu trafficking mengantarkan saya pada fakta bahwa persoalan ini tidak semudah yang bisa kita bayangkan. Di tingkat pencegahan, trafficking berkaitan erat dengan konteks ekonomi politik sosial budaya patriarkis—seperti yang telah saya paparkan di bagian pertama tulisan ini—mulai dari kemiskinan yang mencekik (khususnya di pedesaan), rendahnya tingkat pendidikan, hingga budaya yang mengobyekkan anak dan perempuan, seperti menganggap anak adalah “milik” orang tua atau bahwa anak perempuan adalah objek seksual yang bernilai ekonomis. Di tingkat penanganan kasus, sejumlah kerumitan kembali ditemui. Sebagai contoh, sebagian aparat penegak hukum dan aparat pemerintah sering mempertanyakan mengenai consent atau persetujuan korban trafficking. Salah seorang peserta lokakarya pernah mengatakan, “Bagaimana ya, Bu. Kalau dia sendiri (korbannya) mau, lantas kita mau apa?” Hal lain, sebagian aparat penegak hukum dan aparat pemerintah mempertanyakan mengenai “kedewasaan” korban. Seorang peserta pernah mengatakan pada saya, “Ya meskipun umur si korban di bawah 18 tahun, tapi kalau sudah tahu gituan, sudah kawin, berarti sudah bukan anak-anak lagi dong.”
Ada pula aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan anggota masyarakat, yang masih menggunakan standar moralitas yang bias dalam memandang persoalan trafficking. Sebagai contoh, kenyataan bahwa korban trafficking pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya (tidak “perawan”/tidak “gadis”) umumnya dijadikan standard moral bahwa perempuan tersebut bukan perempuan “baik-baik” dan dengan demikian kasusnya dicurigai bukan trafficking. Dalam hal perlindungan dan pemulihan korban, jelas masih sangat terbengkalai. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus menjamin adanya perlindungan dan pemulihan pada korban trafficking.
Implikasi dari kondisi ini mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban trafficking. Lebih ironisnya, persoalan ini juga berimplikasi pada kemungkinan terjadinya kriminalisasi terhadap korban. Sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi “pelaku” atas penderintaan yang dialaminya. 1ni pula yang sering mengakibatkan korban cenderung takut melaporkan kasusnya, jika mereka dengan susah payah berhasil lepas dari jeratan sindikat trafficking. Mengingat pengalaman di atas, proses pembuatan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seyogyanya memperhatikan: pertanta, kemendesakan lahirnya UU ini terkait dengan lemahnya instrumen hukum nasional yang dimiliki Indonesia untuk menangkap kompleksitas persoalan trafficking, sementara korban terus berjatuhan. Meskipun sejak lahirnya UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengenai penjualan anak dan pemaksaan hubungan seksual terhadap anak untuk tujuan kotnersil atau tujuan tertentu lainnya, telah diatur, tetap saja belum mampu menangkap kompleksitas persoalan trafficking. Apalagi hanya dengan menggunakan pasal 297 KUHP.
Semangat Protokol Palermo sudah semestinya mewarnai secara utuh UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sedang digodok. Sebagai contoh, Pasal 3 Protokol ini (mengenai definisi) menekankan: pertanta, diabaikannya consent atau persetujuan dari korban trafficking; kedua, adanya pengakuan pada korban dan dengan demikian kepada korban dilekatkan sejumlah hak yang wajib dipenuhi oleh negara; ketiga, adanya pengakuan pada kerentanan anak terhadap trafficking dan dengan demikian kepada anak wajib diberikan perlakukan khusus. Kedua, semangat dan substansi UU ini semestinya diletakkan dalam kerangka perlindungan dan penegakan hak-hak korban trafficking, khususnya perempuan dan anak. Cara pandang yang keliru dalam melihat persoalan trafficking hams diluruskan, sehingga tidak mereduksi makna sesungguhnya penghapusan trafficking, apalagi hanya menjadi persoalan moralitas semu. Untuk itu, jelas bahwa trafficking mesti dikembalikan pada persoalan pelanggaran HAM, khususnya perempuan dan anak. Kepada korban dilekatkan sejumlah hak, termasuk tempat tinggal, layanan konseling, medis, informasi tentang hukum, bantuan material, kesempatan kerja, pendidikan dan pelatihan, hingga kerahasiaan identitas.
Ketiga, kewajiban negara. Adalah kewajiban negara untuk memastikan dilakukannya langkah-langkah dan tindakan yang tepat dalam melakukan pencegahan, pembuatan peraturan perundang-undangan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada korban. Untuk itu, posisi negara (pemerintah) sebagai pemangku kewajiban dalam melindungi perempuan dan anak dari trafficking, haruslah termaktub dengan tegas dalam UU ini.
Untuk bahan makalah bisa baca informasi mengatasi permasalahan trafficking wanita dan anak di sini:
http:// www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=1499
http://www.eska.or.id/index.php?option=com_contentatask=viewEtid=i22Et Itemid=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar